Selasa, 29 November 2011

REVIEW JURNAL KOMUNITAS SOS-ANT

PERAN BADAN REINTEGRASI DAMAI ACEH (BRDA) DALAM PROSES DISARMAMENT,DEMOBILITATION, DAN REINTEGRASI (DDR) DI ACEH PASCA PERJANJIAN HELSINKI 2005
Perjanjian damai antara pemerintah RI dengan pihak GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia membawa perubahan besar terhadap konfil yang terjadi di Aceh. Perjanjian tersebut dapat terselenggara karena adanya peristiwa tsunami di Aceh yang memakan banyak korban jiwa. Hal itu menyebabkan kedua belah pihak mengakhri pertikaian mereka yang juga telah memakan banyak korban. Sebelumnya telah diterapkan berbagai kebijakan yang komprehensif/terpadu dan berkesinambungan oleh pemerintah tetapi hal itu belum juga berhasil meredakan konflik yang terjadi tersebut hingga tercapainya sebuah Nota Kesepahaman di Helsinki yang dapat menyatukan kembali bangsa Indonesia.
Setelah adanya Nota Kasepahaman tersebut pihak GAM menyerahkan 840 senjata dan pihak RI pun menarik pasukannya dari Provinsi NAD. Pada bagian ketiga dari Nota Kesepahaman tersebut tertulis bahwa RI membantu proses reintegrasi mantan kombatan GAM dan tatanan politik (tapol) ke desa-desa dan masyarakat Aceh. Peralihan dari kehidupan militer ke kehidupan masyarakat bisa bermasalah dan berbagai kelompok termasuk perempuan dapat saja tersisih dalam proses itu. Perdamaian antara GAM dan pemeritah RI ini menyisakan permasalahan para eks kombatan GAM dalam proses reintegrasi ke dalam masyarakat.
Tujuan dari proses DDR menentukan bagaimana bentuk proses reintegrasi dan seberapa besar dana yang tersedia bagi proses reintegrasi tersebut di suatu negara tertentu. Apabila tujuan satu-satunya adalah keamanan, maka penting untuk mencapai keseimbangan antara tujuan keamanan tersebut yang dikaitkan dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi di Aceh yang spesifik.
Konflik bersenjata mengakibatkan kerusakan terhadap infrastruktur fisik, sosial, ekonomi dan menghambat produktifitas kesempatan kerja masyarakat yang ada di daerah konflik tersebut. Apalagi di Aceh diperparah dengan adanya bencana tsunami yang semakin membuat kehidupan masyarakatnya semakin terpuruk. Kondisi Aceh setelah konflik dan peristiwa tsunami ditandai dengan tingginya tingkat pengguran terselubung serta merosotnya kondisi ketenagakerjaan dan pendapatan yang sangat signifikan. Penciptaan kesempatan kerja menjadi inti dari strategi DDR di Aceh yang komprehensif untuk mencapai perdamaian yang abadi. Namun untuk mencapai hal itu DDR harus mengkaitkan program-programnya dengan proses-proses pemulihan dan rekonstruksi sosial-ekonomi yang lebih luas yang memungkinkan munculnya pencapaian efek berganda (multiplier effect) ekonomi yang penting dan kapasitas yang dihasilkan untuk tujuan pembangunan yang lebih luas. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus menyusun sebuah mekanisme koordinasi yang efektif yang melibatkan seluruh kementrian yang terkait dengan reintegrasi.
Program DDR yang dijalankan dalam konteks keamanan sangat menegangkan karena kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas di daerah konflik melemah serta program DDR itu sendiri pun masih kekurangan peralatan dalam proses penegakan aturan yang mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi yang serius dalam proses pemberian bantuan reintegrasi. Strategi reintegrasi yang harus diterapkan oleh DDR di Aceh adalah dengan usaha memperluas cakupan program dengan merespon kebutuhan mantan gerilyawan dan juga kelompok lain yang terkena dampak konflik dan tsunami.
Reintegrasi merupakan suatu proses penyatuan kembali individu/kelompok ke dalam masyarakat luas untuk melangsungkan kehidupannya secara umum. Dalam kasus Aceh ini adalah penyatuan mantan gerilyawan untuk bergabung kembali dengan masyarakat sipil. Karena itu, program reintegrasi harus menitikberatkan pada mantan gerilyawan maupun komunitas penerima.
BRDA merupakan salah satu actor kunci yang membuat langkah strategis untuk menangani proses reintegrasi Aceh. Langkah pertama diwujudkan dalam kegiatan pelucutan senjata (disarmament) dan pembubaran struktur militer GAM serta pemulangan pasukan keamanan Indonesia (demobilization). Tahap yang ketiga adalah tahap reintegrasi masyaraka Aceh. Namun program reintegrasi masyarakat yang dilakukan oleh BRDA ternyata masih kurang optimal disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hukum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. Pertama, BRDA bersama pemerintah baru Aceh mendorong pemerintah pusat untuk merubah payung hukum pembentukan BRDA sehingga kedudukan BRDA sendiri jauh lebih kuat ketika menghadapi intervensi yang muncul. Kedua, sebagai konsekuensi dari perubahan payung hukum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri. Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai stakeholder yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan cetak-biru perdamaian di Aceh. Dimana cetak-biru tersebut berperan dalam memberikan petunjuk tetang sejauh mana perdamaian dan pembangunan di Aceh tersebut.
• ANALISIS
Masalah yang terjadi di atas merupakan salah satu contoh kasus yang dapat membuktikan teori fungsionalisme structural. Teori fungsionalisme structural mengasumsikan bahwa suatu sistem sosial di masyarakat sebagai realitas sosial yang terdiri dari bagian yang saling berhubungan satu sama lain sehingga semua unsur/bagian dalam sistem tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini tampak ketika ada suatu pemberontakan di salah satu pihak (GAM) akan membuat pemerintahan RI yang ada menjadi goyah/lemah bahkan hamper menuju kepada perpecahan. Akibat dari konflik tersebut maka aktivitas masyarakat pun akan terganggu sehingga kehidupan mereka pun menjadi tidak stabil baik dalm bidang ekonomi, sosial, keamanan, dan lain sebagainya.
Selain dapat dianalisis dengan teori fungsionalisme structural, kasus ini juga dapat dianalisis dengan menggunakan teori konflik. Teori konflik yang saya gunakan disini adalah teori konflik menurut Lewis. A Coser. Ia menyebutkan bahwa sistem sosial di masyarakat berpotensi terhadap timbulnya suatu konflik yang akan membawa kea rah perubahan. Perubahan yang terjadi itu dapat berupa disintegrasi sosial maupun integrasi sosial. Pada kasus diatas terlihat bahwa konflik yang terjadi disebabkan karena keinginan suatu kelompok untuk melepaskan diri dari bagian kelompok yang telah ada sebelumnya. Hal itu mungkin juga dapat disebabkan oleh rasa ketidakpuasan kelompok subordinat (GAM) tersebut terhadap kebijakan maupun keputusan yang diambil oleh kelompok superordinat (Pemerintah RI) yang ada sehingga timbul perjuangan dari kelompok subordinat tersebut untuk menentang kebijakan dan keputusan yang diambil itu yang akhirnya memunculkan suatu konflik. Namun untuk menyelesaikan persoalan konflik tersebut maka muncullah katub penyelamat (Nota Kesepahaman) yang dibuat berdasarkan keputusan bersama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi sehingga dibentuklah BRDA. Disini BRDA berfungsi sebagai lembaga yang mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok tersebut dan mencegah kemungkinan terjadinya konflik yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar